Pacuan Kuda Tradisional ala Gayo



AV – Takengon: Warga di dataran tinggi Gayo, Aceh, kerap menggelar pacuan kuda dengan joki anak-anak yang tanpa mengenakan pelana. Perhelatan rakyat yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini selalu mendapat perhatian warga.

Bukan saja masyarakat di dataran tinggi Gayo, warga luar daerah pun menyempatkan diri ke arena balapan ini.

Kuda dan joki cilik adalah dua sosok yang tak bisa dipisahkan. Para joki yang rata-rata berusia belasan tahun itu seakan begitu menyatu dengan kuda-kuda kesayangan yang dikendalikan di arena. Dalam lomba kali ini keluar sebagai pemenang ialah joki Junaidi, yang telah menekuni pacuan kuda sejak berumur tujuh tahun.

Berlomba tanpa pelana tidaklah mudah. Tak jarang, joki terjatuh hingga menderita luka-luka. Namun, musibah ini tak menyurutkan tekad mereka untuk terus menjadi joki untuk melestarikan budaya pacuan kuda.

Ternyata keberadaan pacuan kuda di daratan tinggi Gayo tak lepas dari peran pemerintahan Hindia Belanda. Awalnya acara ini diadakan untuk memperingati hari ulang tahun Ratu belanda Willhelmina pada tahun 1926 dan terus diadakan setiap tahunnya oleh Belanda.

Namun setelah merdeka, momentum pacuan kuda kemudian beralih menjadi pesta rakyat sebagai bentuk suka cita rakyat Gayo atas kemerdekaan Republik Indonesia.

Kuda-kuda yang sehari-hari digunakan sebagai pembajak sawah kali ini turun kelapangan. Ditunggangi Joki yang biasanya anak-anak berumur 8 sampai dengan 15 tahun, tanpa menggunakan pelana dengan pemukul kuda yang terbuat dari rotan. Dahulu sekali perlombaan ini dibagi menjadi tiga kategori, mulai dari Kuda Muda untuk usia 5 tahun ke bawah, Kuda Dewasa umur 5 sampai 7 tahun dan Kuda Tua 8 sampai 10 tahun.

Dulunya pacuan kuda dilakukan dalam wilayah desa tanpa jalur pacu yang jelas, seiring dengan berkembangnya daerah kemudian beralih ke lapangan Musara Alun di Belang Kolak II hingga akhirnya pada tahun 2006 dipindahkan ke lapangan Belang Bebangka di Kayu Kul hingga sekarang masih diselenggarakan ditempat ini. 

Perhelatan ini rata-rata berlangsung selama seminggu, awalnya diadakan hanya satu tahun namun semenjak tahun 2011 event yang menjadi pekan rakyat ini menjadi dua kali setahun.

Pesta Budaya ini bukan hanya sangat diminati masyarakat gayo sampai saat ini, melainkan juga mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia dan kabar keberadaannya sudah meluas ke Manca Negara.

Sayangnya, saat ini keberadaan Kuda lokal semakin tersingkir dengan datangnya kuda luar dengan postur lebih besar yang mencuri minat para pecinta kuda Gayo. Hal yang paling dikhawatirkan oleh para pemilik dan penikmat kuda lokal adalah, pada masa yang akan datang kuda lokal tidak lagi mampu bersaing atau bahkan tidak ikut berpacu dalam turnamen lagi. Bahkan sangat mungkin punah oleh perkembangan zaman karena tidak diminati lagi.

Dalam perkembangannya, event ini terus dibenahi mulai dari peraturan, kategori, lapangan dan kelengkapan lainnya. Pacuan kuda ini tidak hanya diadakan di Kabupaten Aceh Tengah, tapi juga di Kabupaten Bener Meriah dan juga Kabupaten Gayo Lues.

Para pemilik dan perawat kuda yang sempat kami temui berharap semoga tradisi ini dapat terus dijaga dan dilestarikan keberadaannya di dataran tinggi Gayo. Dengan perbaikan dan perkembangan yang tidak menggeser nilai-nilai tradisi perayaan tersebut. (RED/DBS)
Share this video :
 
About Us | Redaksi | Pedoman Media Siber
. Support: Acehadvertising.com
Copyright © 2013. Aceh Video - All Rights Reserved