AV - Banda Aceh: Tak terhitung nasib dan keluhan warga yang kabarkan media massa lewat pemberitaan para jurnalisnya. Namun, nasib jurnalis sebagai ujung tombak berita seakan luput dari perhatian pemilik industri media.
Para jurnalis layaknya pemulung yang tak punya majikan untuk menuntut hak hidupnya yang layak. Khusunya di Aceh, tak ada jurnalis telivisi yang mendapatkan gaji pokok dan asuransi kesehatan. Sejumlah jurnalis media online dan cetak juga bernasib serupa.
Sementara media memaksa kontributornya untuk bekerja proesional dengan peralatan kerja seadanya. Para jurnalis dituntut mewartakan berita dengan jadwal tak jelas dan upah yang tak pernah naik.
Hotli Simanjuntak telah lebih 15 tahun bekerja sebagai jurnalis. Dia memulai kareirnya menjadi fotografer, gajinya sebagai fotografer jauh dari layak. Tuntutan hidup yang tinggi tak bisa membuatnya hanya bekerja menjadi pewarta foto saja. Dia juga menulis dan juga pernah menjadi koresponden televisi swasta nasional.
Menjadi jurnalis telah menjadi pilihan hidupnya, bekerja untuk media asing juga tak sepenuhnya menjamin hidup hotli sejahtera. Industri media di Indonesia belum sepenuhnya peduli terhadap jurnalis.
Bahkan menurut ketua aliansi jurnalis independen banda aceh, Maimun Saleh, portal berita nasional sekalipun masih ada hingga sekarang yang mengupah jurnalisnya satu berita seharga sebungkus nasi. Belum lagi jurnalis harus menanggung biaya kesehatan dan sosial keluarganya.
Pemilik media seolah tutup mata, bertahun-tahun mereka dibayar dengan upah rendah. Nasib miris jurnalis tak beda dengan buruh lain yang hari ini turun kejalan menuntut kesejahteran.
Sejatinya jurnalis juga buruh. Menjadi jurnalis bukan sekedar pekerjaan. Dengan upah rendah para jurnalis ini masih tetap berupaya mengabarkan fakta disekitar kita. (Raja Muda)